Daftar Blog Saya

Daftar Blog Saya

Selasa, 20 Desember 2011

DEMOKRASI VS LIBERALISASI


Demokrasi VS Liberalisasi
Oleh Elvira Suryani, S.IP
Abstract

A democracy is a political system and ideology in which the people or community are made found from western. Democracy is an encouraging development of political equality and under conditions of political freedom, it’s mind a government of the people, by the people, for the people, either directly or through representatives.

Liberalism comes from the word free.The Freedom to say their opinion  for every citizen. While Freedoom is not free. The words is famous in United State. Democracy need the freedoom for saying the opinion about politic, economic and ect.

Keywords: Democracy, Liberalism, government, people.

Demokrasi adalah sistem politik ideal dan ideologi yang berasal dari Barat. Demokrasi menyiratkan arti kekuasaan politik atau pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat, warga masyarakat yang telah terkonsep sebagai warga negara.
 
Sedangkan Liberalisme berasal dari kata bebas. Bebas disini adalah adalah untuk menyampaikan pendapat bagi setiap warga negate. Kebebasan bukanlah bebas sepenuhnya. Itulah ungkapan yang terkenal di Amerika Serikat. Demokrasi memang membutuhkan demokrasi dalam kegiatan politik, ekonomi dan lainnya.

Simak
Baca secara fonetik

Pendahuluan
Manusia hidup senantiasa membutuhkan kebebasan dalam bersikap dan bertindak. Namun, apakah kebebasan tersebut menjadikan penghalang bagi orang lain atau pengganggu ketentraman orang lain?. Hal inilah yang merupakan pertanyaan buat kita semua. 
Menurut Pemaparan Anas Urbaningrum tentang kebebasan dan Demokrasi dalam bukunya (Melamar Demokrasi; 2004) mengatakan bahwa ada tiga hal yang menonjol dalam upaya membangun demokrasi di Indonesia. Pertama, penggunaan ruang kebebasan secara berlebihan. Kedua, Egoisme Politik dengan mengentalkan egoisme kelompok. Ketiga,  Tumpulnya sensitivitas Politik Pemerintah.

Sejak bergulirnya era reformasi dengan digulingkannya pemerintahan Soeharto pada tahun 1998. Indonesia telah mengkhultuskan diri sebagai Negara demokrasi dengan ada nya reformasi diberbagai bidang. Media bebas mengekspos apapun. Banyaknya demonstrasi di jalan-jalan. Manusia seperti jerami yang gampang tersulut amarah, jika terganggu sedikit haknya. Hal ini sudah terbukti dengan pernyataan Anas pada paragraph sebelumnnya.
Salah satu tokoh reformis Indonesia adalah Amin Rais. Reformasi (Perubahan) tersebut telah memakan korban dengan adanya kerusuhan pada tanggal 19 Mei yang dikenal dengan nama tragedi semanggi. Pergantian kepemimpinan otoriter sudah terlaksana. Bahkan ada beberapa kali kepemimpinan yang hanya terjadi satu kali menjabat saja.
Jika menilik era soekarno, soeharto, BJ, Habibie, Gusdur, Mega Wati, dan Susilo Bambang Yudhono, pastilah Soeharto yang unggul dalam mempertahankan tampuk pemerintahannya. Hal ini sama dengan kondisi yang kita lihat diberbagai wilayah arab yang bergejolak saat ini. Dari Libya yang menjabat adalah moamar Kadhafi, sedangkan di Mesir Presiden Hosni Mubarok. Baru-baru ini berlanjut ke Tunisia. Suara rakyat yang bersatu mampu menggulingkan pemerintahan-pemerintahan otoriter tersebut.
Kondisi tiga Negara Timur Tengah yang ada saat ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan kondisi yang di alami pada waktu pemerintahan Soeharto dulu. Pemilihan Presiden yang mengatasnamakan demokrasi, namun terkesan  formalitas belaka. Ada satu partai politik yang senantiasa bertahan terus-menerus, meski mengusung Luber (Langsung, umum, bebas, rahasia) untuk pemilihan presiden atau kepala daerah. Demokrasi yang diciptakan hanyalah sebagai tameng untuk melanggengkan kekuasaan.
Para elit politik dan masyarakat yang anti pemerintah melakukan pemberontakan dengan menggulingkan pemerintahan Negara. Presiden yang menjabat hampir 30 tahun lebih dipaksa untuk turun oleh masyarakat anti pemerintah. 
Inti dari pemberontakan yang dilakukan oleh berbagai Negara baik Indonesia dan Negara-negara yang ada di Timur Tengah adalah menuntut adanya Demokrasi. Demokrasi seperti apakah yang diinginkan oleh Negara bergejolak tersebut. Demokrasi yang mengutamakan suara rakyatkah atau lebih mirip dengan demokrasi yang menyanjung tinggi liberalisasi atas kepentingan pribadi atau golongan?.
Sejarah Demokrasi
 Demokrasi berasal dari Yunai Kuno yang dipakai di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Istilah demokrasi berasal dari dua kata yakni: “ Demos dan Kratos atau cratein”. Demos berarti rakyat, dan kratos/cratein berarti pemerintahan. Jadi secara keseluruhan dapat diartikan bahwa Demokrasi adalah sebagai pemerintahan rakyat, atau bahasa tenarnya adalah Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan negara dan hukum di Yunani-Kuno dan dipraktekkan dalam hidup bernegara antara Abad ke-IV sebelum Masehi sampai Abad ke-VI Masehi. Pada waktu itu dilihat dari pelaksanaan demokrasi yang dipraktekkan secara langsung (direct democracy), artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Dalam perkembangannya telah mengalami dua kali bentuk transformasi demokrasi, yakni transformasi demokrasi negara kota di Yunani dan Romawi-Kuno pada Abad ke-V sebelum Masehi, serta beberapa negara kota di Italia pada masa abad pertengahan, dan transformasi yang terjadi dari demo­krasi negara kota menjadi demokrasi kawasan bangsa, negara, atau negara nasional yang luas (Dahl, 1992: 3-4).

Demokrasi menyiratkan arti kekuasaan politik atau pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat (Warren, 1963: 2), warga masyarakat telah terkonsep sebagai warga negara. Dengan demikian dilihat dari arti kata asalnya, demokrasi mengandung arti pemerintahan oleh rakyat. Sekalipun sejelas itu arti istilah demokrasi menurut bunyi kata-kata asalnya, akan tetapi dalam praktek demokrasi itu dipahami dan dijalankan secara berbeda-beda.
Kunci dari demokrasi terletak pada adanya hubungan kuat antara rakyat dan pemerintahan. Bahkan pemerintahan dari rakyat , oleh rakyat dan kembali untuk rakyat diharapkan sesuai dengan kebutuhan rakyat yang mengangkat para wakilnya untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan aspirasi rakyat. Dalam roda pemerintahan tidak bisa dipungkiri kekuasaan selalu memegang peranan dalam mempengaruhi rakyat yang akan memilih para wakilnya. Baik secara langsung ataupun secara perwakilan. Politik menjadi jembatan untuk meraih kekuasaan tersebut.
Dalam perjalanannya. Demokrasi merupakan sebuah system yang banyak dipakai oleh pemerintahan barat dan berkembang ke Negara-negara Timur Tengah dan Asia, termasuk Indonesia salah satunya. Penerapan demokrasi tentunya memerlukan waktu, karna kultur budaya, letak geografis sebuah Negara sangat mempengaruhi penerapan demokrasi ini. 
Demokrasi adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik (Henry B. Mayo, 1960: 70). Dengan kata lain demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dibentuk melalui pemilihan umum untuk mengatur kehidupan bersama berdasarkan aturan hukum yang berpihak pada rakyat banyak. Harris G. Warrant dalam Our Democracy at Work (1963: 2), memberikan rumusan pengertian demokrasi sebagai, “a government of the people, by the people, for the people”. Bryan A. Garner dalam Black’s Law Dictionary (1999: 444), memberikan arti demokrasi sebagai “government by the people, either directly or through representatives”.
Dari pengertian Demokrasi oleh para ahli di atas dapat kita pahami bahwa  Demokrasi memberikan dampak terhadap kehidupan bersama dengan adanya hak dan kewajiban masyarakat terhadap  politiknya dalam bernegara. Dikemukakan oleh Robert A. Dahl dalam On Democracy (1998: 38), bahwa “democracy provides opportunities for effective participation; equality in voting; gaining enlightened understanding; exercising final control over the agenda; inclusion of adults”. Artinya, bahwa dengan demokrasi akan memberikan kesempatan­ kepada rakyat untuk partisipasi yang efektif; persamaan dalam memberikan suara; mendapatkan pemahaman yang jernih; melaksanakan pengawasan akhir terhadap agenda; dan pencakupan warga dewasa. Konsekuensi demokrasi tersebut akan memberi­kan standar ukuran umum dalam melihat suatu negara sebagai negara demokrasi. Dengan kata lain, ketika kesempatan­-kesempatan yang merupakan konsekuensi dari standar ukuran umum negara demokrasi tersebut tidak dijalankan, maka negara tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai negara demokratis.
Menurut  Juan J. Linz  dalam buku “Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat” menguraikan bahwa Demokrasi membutuhkan liberalisasi, namun merupakan suatu konsep yang lebih luas dan lebih bersifat politis. Demokratisasi menuntut persaingan terbuka untuk mendapatkan hak menguasai pemerintahan dan ini pada gilirannya menuntut diselenggarakannya pemilihan umum.

Bahkan Juan J. Linz dan Alfred Stepan pun mengatakan bahwa kriteria demokrasi adalah;
Kebebasan hukum untuk merumuskan dan mendukung, alternative-alternatif politik  dengan hak yang sesuai untuk berserikat, bebas berbicara, dan kebebasan-kebebasan dasar lain bagi setiap orang; persaingan yang bebas dan antikekerasan di antara para pemimpim dengan keabsahan periodik bagi mereka untuk memegang pemerintahan; dimasukkannya seluruh jabatan politik yang efektif di dalam proses demokrasi dan hak untuk berperan serta bagi semua anggota masyarakat politik, apa pun pilihan mereka.
Secara praktis, ini berarti kebebasan untuk mendirikan partai-partai politik dan menyenggarakan pemilihan umum yang bebas dan jujur pada jangka waktu tertentu tanpa menyingkirkan jabatan politis efektif apa pun dari akuntabilitas pemilihan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
 Pernyataan di atas pun telah dilakukan oleh Indonesia yang tadi nya hanya tiga partai pada era soeharto. Sekarang sudah multi partai yakni berjumlah sebanyak 40-an partai yang terlibat dalam pemilu

Pada kenyataannya pemilihan umum langsung yang mengatasnamakan demokrasi liberalisasi justru menimbulkan berbagai macam konflik baik di pusat maupun di daerah.
Menurut Direktur Jendral Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangol) Deddagrei, Tanri Bali Lamo yang dimuat di harian Buana Sumsel menyebutkan bahwa data dari 486 Pilkada yang digelar dari tahun 2005-2008; hampir separuhnya bermasalah. Sebanyak 22 merupakan pemilihan Gubenur dan Wakil Gubenur.
Sebagian besar konflik Pilkada bermasalah pada persoalan perhitngan suara,masalah daftar pemilih tetap dan sebagian lain ketidaknetralan KPUD ( Komisi Pemilihan Umum Daerah).
 Liberalisasi
            Berbicara liberalisasi maka tidak lepas dari kata liberal yang berarti kebebasan dalam menyampaikan pendapat, bebas berpolitik, dan kesempatan yang luas untuk berkembang dan maju. Seperti yang disampaikan pada paragraph sebelumnya dalam pembahasan demokrasi yang mengatakan bahwa demokrasi memerlukan kebebasan yang bertumpu kepada kekuatan rakyat. Dalam hal ini rakyatlah yang menentukan siapa pemimpinnya, dan bagaimana pola pemerintahan yang merekan inginkan. Suara rakyat dalam era demokrasi sangat didengar.
Menikmati kebebasan yang terjadi mulai dari demokrasi terpimpin sampai demokrasi pancasila masih rancu bahkan kebablasan. Semua ingin didengar, semua berhak menuntuk hak. Tak perduli lagi dengan amanah menunaikan kewajiban.
Apalagi sejak era reformasi, manusia sangat gampang tersulut. Mudah memberontak kepada pemerintah. Jika dibiarkan bukan tidak mungkin hal ini sangat mengganggu kestabilan pemerintahan sebuah Negara.
Keamanan menjadi taruhan dengan sangat terbukanya kran demokrasi yang menganggung-agungkan kebebasan.
Buktinya sangat banyak kita temui di negeri ini. Permasalahan seperti bola tenis yang di lempar ke dalam sebuah kolam, tenggelam dan muncul. Tak ada kasus yang tuntas. Hal yang banyak muncul adalah tuntutan dan tuntutan.
Indonesia yang menjujung tinggi demokrasi bukan lagi mengacu pada demokrasi pancasila, namun sudah mengarah kepada liberalisasi.
Sejak pemilihan umum secara langsung, pada era pemerintahan gusdur sampai Susilo Bambang Yudono, rentan konflik dan banyak menghamburkan uang Negara. Sistem pemilihan umum secara langsung menjadi ajang adu kekuatan politik dan perebutan kekuasaan para elit politik. Baik di pusat maupun di daerah. Bahkan tidak jarang kita dengar di  media massa dan kita lihat di media televisi, para caleg yang gagal untuk merebut kekuasaan menjadi gila, banyak hutang, bahkan sampai bunuh diri.
Hal ini disebabkan para caleg yang sudah banyak mengeluarkan uang untuk kegiatan kampanye sampai menggadaikan asset yang dimilikinya demi mendapatkan kursi di pemerintahan.
Dampak yang dimunculkan oleh liberalisasi yang kita anut sungguh mencengangkan. Tidak hanya di bidang politik, namun juga dibidang lainnya yang meningkatkan jumlah kejahatan serta tingkat orang stress di Indonesia. Liberalisasi yang bebas nilai dan norma. Menghalalkan segala cara demi kekuaasaan.

Memurnikan Demokrasi dan Liberalisasi.
Dengan berbagai dampak yang dimunculkan oleh demokrasi yang menjujung tinggi liberalisasi sekiranya perlu di kaji ulang penerapannya di Indonesia. Jika Kita bandingkan dengan masa pemerintahan orde Baru, model yang masih tepat untuk dilaksanakan bagi Negara Indonesia yang memiliki ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Sebagai Negara yang beradab dan menjunjung tinggi pancasila, etika perlu di terjemahkan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak hanya sebagai simbolitas belaka, namun masuk dan menjadi darah daging bangsa Indonesia, baik pemerintah, para elit politik, dan Masyarakat.
 Masyarakat dibutuhkan betul-betul sebagai pengendali sistem yang telah diterapkan oleh Pemerintah. Suara rakyat perlu didengar dan di ambil kebijakan yang mampu mengakomodir kepentingan bersama. Bukan rakyat semu yang dijadikan sebagai dagelan politik untuk kepentingan penguasa.
Suara rakyat dijadikan sebagai ramuan ampuh untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.  Demokrasi sebagai pelayanan utama kepada rakyat justru bertolak belakang dengan rakyatlah sebagai abdi penguasa.
Patutlah sekiranya Demokrasi dan Liberalisasi dikembalikan sebagai makna yang lebih manusiawi dan bermartabat. Memberikan hak politik tanpa mengganggu hak orang lain. Berbuat tanpa mencelakai orang lain. Liberalisasi disini dimaksukan jika manusia mampu mengendalikan sesuatu sesuai dengan hati nurani yang memanusiakan manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial yang diberikan keistimewaan oleh Tuhannya.
Etika merupakan salah satu kunci untuk memurnikan makna Demokrasi dan Liberalisasi yang sesuai dengan hati nurani rakyat yang ingin hidup bersama dalam kondisi  aman dan tentaram.

Penutup
Liberalisasi yang terkandung dalam makna demokrasi yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat butuh kebebasan hidup tanpa mengganggu yang lainnya. Rakyat butuh hak untuk berpolitik tanpa mematahkan lawan dengan cara yang culas. Rakyat butuh hak mengeluarkan pendapat tanpa perlu di jegal. Rakyat perlu penguasa yang amanah dalam menunaikan aspirasi-aspirasi nya tanpa disogok untuk mendapatkan dukungan.
Itulah perlunya Demokrasi dan Liberasilasi yang sesuai dengan hati nurani yang murni semata-mata untuk pengabdian kepada masyarakat.
Kejujuran diperlukan untuk menerapkan demokrasi yang sesungguhnya. Pembelajaran politik yang menjunjung tinggi etika perlu diterapkan agar mampu menciptakan demokrasi dan liberalisasi yang tetap mengedepankan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat.

Tinjauan Pustaka
Beetham, David, (ed.), 1994, Defining and Mea­suring Democracy, London-Thousand Oaks-New Delhi: Sage Publications.
Budiardjo, Miriam, 1983, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia.
Craig, Gary, and Marjorie Mayo, (ed.), 1995, Com­munity Empowerment A Reader in Participation and Development, London & New Jersy: Zed Books Ltd.
Dahl, Robert A., 1998, On Democracy, USA; Yale Uni­versity Press.
_____, 1992, terjemah A Rahman Zainuddin, Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
_____, 2001, terjemah A Rahman Zainuddin, Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Secara Singkat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Huntington, Samuel P, 1995, terjemah Asril Marjohan, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Linz, Juan J. et.al,2001, Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat (Belajar dari Kekeliruan negara-negara Lain), Bandung:Pustaka Mizan.
 Goesniadhie, Kusnu.S, ( http://kgsc.wordpress.com/demokrasi-dalam-konsep-dan-praktek/
Harian Buana Sumsel  15 Januari 2010

Tulisan ini dimuat di Jurnal KYBERNAN, Vol 1,No,1 , Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar