Daftar Blog Saya

Daftar Blog Saya

Sabtu, 14 Januari 2012

CERITA TENTANG CERPENIS CILIK


CERITA TENTANG CERPENIS CILIK
Oleh Elvira Suryani

Hari ini membuatku bersemangat.  Kesempatan yang jarang-jarang untuk mengajar anak-anak lagi.  Menghadapi anak-anak masih menjadi PR  besar bagiku. Tak seperti orang dewasa, dan mahasiswa masih lebih mudah dibandingkan menghadapi anak-anak usia Sekolah Dasar (SD). Bukan aku tidak menyukai anak-anak. Bukan perkara itu.  Hanya masalah cara saja yang perlu ku pelajari. Jadi kakak mentor bagi mereka butuh kesabaran yang lebih. Kita harus punya segudang kreatifitas untuk bisa menankhlukkan mereka.

Sabtu (14/1) di SD –IT Alhusnayain, di tempat ini lah aku mengajarkan mereka untuk menulis cerpen. Berangkat pagi-pagi dari rumah pukul 6.15, dengan asumsi agar tidak terlambat. Meski sebelumnnya pernah ke sana untuk mengisi ekskul di SMP ITnya, tetap saja, aku lupa naik mobil apa ke sana. Sms teman yang pernah ngajar di sana, akhirnya aku dapat informasi untuk menuju ke Alhusnayaiin, naik angkot K31 katanya. Print materi yang dikirim oleh seorang teman, baru lanjut perjalanan. 

Aku naik angkot 07 terlebih dahulu. Turun di Harapan Baru. Biasanya disitulah angkot K31 lebih banyak nangkiring. Berhubung masih pagi, para supir angkot senang sekali ngetem. Mereka tidak perduli dengan penumpang mau ada yang terburu-buru atau tidak. Bagi mereka bagaimana untuk bisa setoran penuh hari ini. Lihat waktu di jam tanganku sudah menunjukan pukul 7.00 WIB. Aku masih punya waktu sekitar 30 menit lagi untuk sampai di sekolah pukul 7.30 WIB. Sementara aku masih berada di sekitar MM Bekasi. Ada rasa khawatir. Kesan pertama tak ingin mengecewakan, itu yang ada dalam benakku. Soalnya menggantikan seorang teman, berarti harus menjaga kepercayaan yang diberikannya.

Dengan mulut komat-kamit, aku berdo’a dalam hati semoga si abang angkot mau menjalankan angkotnya. Setelah ada satu penumpang yang menemaniku. Akhirnya jalan juga. Sekitar pukul 7.15 aku sampai di Harapan Baru. Turun, memberikan lembaran 3 ribuan. Aku mencari-cari angkot K31. Tengok kiri-kanan, tak ada tanda-tanda angkot tersebut akan hadir. Aku pun memutuskan untuk naik ojek untuk mengantisipasi keterlambatan hadir di sekolah. 

Ada cerita  yang unik disepanjang perjalanan.  Seumur hidupku, baru kali ini  naik ojek full musik. Si abang tukang ojek ternyata meyukai lagu Iwan falls yang diputarnya. Aku hanya tersenyum sendiri, melihat tingkah si abang tukang ojek. Sekitar 10 menit,  aku pun sudah menginjakkan kaki di SD-IT Alhusnayain.
Di sekolah memang sudah terlihat anak-anak. Namun, aku tidak tahu yang mana anak-anak yang akan mengikuti ekskul jurnalistik. Aku mencoba menghubungi guru pendamping ekskul tersebut. Bertanya kepada seorang bapak penjaga kebersihan sekolah. Ternyata  guru tersebut belum hadir. Aku memutuskan untuk ke Mushola terlebih dahulu. Letaknya diluar gedung sekolah. Rehat sejenak, selagi masih ada waktu untuk bermunajat, pikirku. Kemudian aku kembali ke sekolah lagi.

Karena terburu-buru, aku tidak membawa hanphone simpatiku. Aku  menghubungi seorang teman yang telah merekomendasikan aku untuk menggantikannya hari ini. Ku tulis SMS untuknya. Setelah beberapa menit smspun berbalas. Aku mencoba untuk menghubung no, HP guru pendamping Ekskul, namun tak ada jawaban. Aku putuskan untuk bertanya lagi kepada si Bapak penjaga sekolah. Bapak tersebut menyarankanku untuk ke ruangan guru saja di lantai 2. Ku ikuti sarannya. Pucuk di cinta ulampun tiba. Aha, guru pendamping ekskul telah datang. Aku memperkenalkan diri. Guru tersebut menyuruhku masuk ke ruangan para guru. Perkenalan singkatpun terjadi sambil menikmati teh pagi buatannya.

Sekitar pukul 8 pagi, aku diajak ke lantai 3 untuk memulai ekskul jurnalistik. Ada sekitar sepuluh orang anak yang sudah menunggu didalam ruangan kelas 3A. Menurut informasi dari bu Yuli, bahwa awalnya ada 50 orangan, tapi yang datang untuk pertemuan-pertemuan berikutnya hanya kadang 30 , terkadang 20 an, begitu katanya.

Baiklah tidak masalah bagiku. Berapapun jumlah anak-anak hari ini. Aku tetap akan berbagi ilmu dengan mereka. Awal pertemuan, aku memperkenalkan diri. Setelah itu aku menanyakan satu-persatu nama mereka, kenapa mereka tertarik dengan ekskul jurnalistik.
“ Aku penasaran aja kak, kayak apa ekskul jurnalistik itu”. Sahut Fara padaku.
“Aku  senang nulis kak. “ Ungkap Caca.

Komentar-komentar lainpun bermunculan.  Beragam motivasi mereka untuk mengikuti ekskul jurnalistik. Ya, itulah dunia anak-anak. Ada yang betul-betul dari keinginan mereka sendiri. Ada juga karena dorongan teman. 

Untuk menghidupkan suasana, aku ajak mereka bermain dan bernyanyi terlebih dahulu.  Tujuan awal untuk membuat mereka nyaman terlebih dahulu.  Mereka mencari pasangan masing-masing, kemudian berhadap-hadapan. Saling menyapa, bernyanyi, berputar-putar. Persis untuk anak tk, tapi ya itulah yang ada dalam benakku saat itu.

Ketika kami sedang asyik bermain game tersebut, peserta ekskul lainpun berdatangan satu persatu sehingga anggota yang tadinya berjumlah sepuluh sudah bertambah menjadi duapuluhan. Selesai game, aku meminta perserta untuk membuat lingkaran. Baru memulai materi. Wah, luarbiasa untuk membuat mereka nyaman, musti banyak game juga nie.

Sebelum membahas materi, aku minta peserta mengeluarkan kertas satu lembar . Kemudian menuliskan nama masing-masing. Menuliskan alamat dan kelas mereka. Lalu, Aku pun membagikan materi yang akan dibahas. 

Akupun mulai meminta mereka untuk menuliskan satu kalimat yang mereka suka. Setelah itu diberikan kepada teman disebelahnya. Temannya berusaha untuk melanjutkan kalimat yang telah dibuat awal. Nampaknya, cara ini mereka agak kesulitan. Ada yang bisa, ada juga yang masih malas-malasan. Aku cari akal lagi bagaimana untuk menghidupkan suasana lagi.

Setelah ku tanya kepada adik-adik dari kelas tiga sampai kelas lima tersebut, mereka mau main game kembali. Aku memberikan game asah otak versi ku, ternyata tak mempan untuk membuat mereka semangat. Wah, apalagi ya, aku sempat bertanya-tanya pada mereka. Sang guru pendamping ekskul melihatku agak kesulitan beradaptasi. 

Ia berinisiatif untuk membuat game yang sudah akrab dengan anak-anak. Dengan memberikan contoh, akupun mengikuti permain kata kunci yang diberikan tersebut. Aku bercerita di tengah-tenngah mereka, membuat kata kunci, setiap kata kunci yang disebutkan anak-anak harus menyentuh tangan temannya disebelah kanan. Sementara teman yang disentuh tangannya berusaha untuk menghindar. Suasana kelas hidup kembali, aku merasa terbantu. Hieks… coba yang dampingi pak guru ganteng ya, wah bisa betah berlama-lama ngajar anak-anak (khayalan tingkat tinggi, just intermezzo).

Permainan kedua sukses. Materi “Menjadi Seorang Cerpenis dilanjutkan. Aku meminta seorang anak untuk membacakan cerpen  di tengah-tengah temannya. Awalnya banyak yang tidak mau, dengan iming-iming hadiah, Ada satu anak yang bergegas untuk membaca cerpen. Meski agak kurang keras, aku berusaha untuk menyimak cerpen yang dibacakan tersebut. 

Setelah itu baru aku bahas unsur-unsur cerpen sesuai dengan contoh cerpen yang dibacakan tersebut Tema, Setting, Tokoh, dan Konflik.  Kaitkan dengan cerpen yang sudah ada, lalu mengajak mereka menulis.
Waktu yang tersisa sekitar 30 menit untuk mereka menulis. Aku biarkan mereka berimajinasi sebebas mungkin. Apa aja boleh, kataku pada mereka. Apa yang kamu suka, silahkan tulis.Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10 WIB. Aku mengitari mereka satu-persatu. Wah, hebat, ada yang sudah menulis dua halaman. Ada yang dua halaman, ada yang satu setengah. Aku bangga, tiga halaman yang mereka tulis ternyata belum selesai. Aku sengaja tidak mengambilnya untuk dikumpulkan. Aku meminta mereka untuk melanjutkan cerpen mereka di rumah, mengetiknya, lalu mengirimkan lewat email.

Terima kasih untuk hari ini, adik-adiku yang manis. Jangan kapok untuk ketemu kakak lagi. Bahagianya berada di tengah-tengah kalian. Ekskul usai, mereka pamit sambil mencium punggung tanganku satu persatu. Aku berlalu menyusuri anak tangga menuju lantai 2 untuk mengisi absen teman yang aku gantikan.
Di ruangan Kepala sekolah,aku berkenalan dengan guru ekskul angklung. Ia tinggal di Tanjung Priok. Cukup jauh dariku. Entah jam berapa ia berangkat dari rumah. Yang pasti iapun rela berangkat pagi, demi anak-anaknya tercinta.

Sayang sekali aku tak bisa ngobrol berlama-lama dengan guru yang lain diruang tersebut. Ada agenda lain yang sudah menanti. Aku pamit dan langsung menuju Unisma. Itu ceritaku. Apa ceritamu?.