CERITA TENTANG CERPENIS CILIK
Oleh Elvira
Suryani
Hari ini
membuatku bersemangat. Kesempatan yang
jarang-jarang untuk mengajar anak-anak lagi.
Menghadapi anak-anak masih menjadi PR besar bagiku. Tak seperti orang dewasa, dan
mahasiswa masih lebih mudah dibandingkan menghadapi anak-anak usia Sekolah Dasar (SD). Bukan aku tidak menyukai
anak-anak. Bukan perkara itu. Hanya
masalah cara saja yang perlu ku pelajari. Jadi kakak mentor bagi mereka butuh
kesabaran yang lebih. Kita harus punya segudang kreatifitas untuk bisa
menankhlukkan mereka.
Sabtu
(14/1) di SD –IT Alhusnayain, di tempat ini lah aku mengajarkan mereka untuk
menulis cerpen. Berangkat pagi-pagi dari rumah pukul 6.15, dengan asumsi agar
tidak terlambat. Meski sebelumnnya pernah ke sana untuk mengisi ekskul di SMP
ITnya, tetap saja, aku lupa naik mobil apa ke sana. Sms teman yang pernah
ngajar di sana, akhirnya aku dapat informasi untuk menuju ke Alhusnayaiin, naik
angkot K31 katanya. Print materi yang dikirim oleh seorang teman, baru lanjut
perjalanan.
Aku naik
angkot 07 terlebih dahulu. Turun di Harapan Baru. Biasanya disitulah angkot K31
lebih banyak nangkiring. Berhubung masih pagi, para supir angkot senang sekali
ngetem. Mereka tidak perduli dengan penumpang mau ada yang terburu-buru atau tidak.
Bagi mereka bagaimana untuk bisa setoran penuh hari ini. Lihat waktu di jam
tanganku sudah menunjukan pukul 7.00 WIB. Aku masih punya waktu sekitar 30
menit lagi untuk sampai di sekolah pukul 7.30 WIB. Sementara aku masih berada
di sekitar MM Bekasi. Ada rasa khawatir. Kesan pertama tak ingin mengecewakan,
itu yang ada dalam benakku. Soalnya menggantikan seorang teman, berarti harus
menjaga kepercayaan yang diberikannya.
Dengan
mulut komat-kamit, aku berdo’a dalam hati semoga si abang angkot mau menjalankan
angkotnya. Setelah ada satu penumpang yang menemaniku. Akhirnya jalan juga.
Sekitar pukul 7.15 aku sampai di Harapan Baru. Turun, memberikan lembaran 3
ribuan. Aku mencari-cari angkot K31. Tengok kiri-kanan, tak ada tanda-tanda
angkot tersebut akan hadir. Aku pun memutuskan untuk naik ojek untuk
mengantisipasi keterlambatan hadir di sekolah.
Ada cerita yang unik disepanjang perjalanan. Seumur hidupku, baru kali ini naik ojek full musik. Si abang tukang ojek ternyata
meyukai lagu Iwan falls yang diputarnya. Aku hanya tersenyum sendiri, melihat
tingkah si abang tukang ojek. Sekitar 10 menit, aku pun sudah menginjakkan kaki di SD-IT
Alhusnayain.
Di sekolah
memang sudah terlihat anak-anak. Namun, aku tidak tahu yang mana anak-anak yang akan
mengikuti ekskul jurnalistik. Aku mencoba menghubungi guru pendamping ekskul
tersebut. Bertanya kepada seorang bapak penjaga kebersihan sekolah.
Ternyata guru tersebut belum hadir. Aku
memutuskan untuk ke Mushola terlebih dahulu. Letaknya diluar gedung sekolah.
Rehat sejenak, selagi masih ada waktu untuk bermunajat, pikirku. Kemudian aku
kembali ke sekolah lagi.
Karena
terburu-buru, aku tidak membawa hanphone simpatiku. Aku menghubungi seorang teman yang telah
merekomendasikan aku untuk menggantikannya hari ini. Ku tulis SMS untuknya.
Setelah beberapa menit smspun berbalas. Aku mencoba untuk menghubung no, HP
guru pendamping Ekskul, namun tak ada jawaban. Aku putuskan untuk bertanya lagi
kepada si Bapak penjaga sekolah. Bapak tersebut menyarankanku untuk ke ruangan
guru saja di lantai 2. Ku ikuti sarannya. Pucuk di cinta ulampun tiba. Aha,
guru pendamping ekskul telah datang. Aku memperkenalkan diri. Guru tersebut menyuruhku
masuk ke ruangan para guru. Perkenalan singkatpun terjadi sambil menikmati teh
pagi buatannya.
Sekitar
pukul 8 pagi, aku diajak ke lantai 3 untuk memulai ekskul jurnalistik. Ada
sekitar sepuluh orang anak yang sudah menunggu didalam ruangan kelas 3A.
Menurut informasi dari bu Yuli, bahwa awalnya ada 50 orangan, tapi yang datang
untuk pertemuan-pertemuan berikutnya hanya kadang 30 , terkadang 20 an, begitu
katanya.
Baiklah
tidak masalah bagiku. Berapapun jumlah anak-anak hari ini. Aku tetap akan
berbagi ilmu dengan mereka. Awal pertemuan, aku memperkenalkan diri. Setelah
itu aku menanyakan satu-persatu nama mereka, kenapa mereka tertarik dengan
ekskul jurnalistik.
“ Aku
penasaran aja kak, kayak apa ekskul jurnalistik itu”. Sahut Fara padaku.
“Aku senang nulis kak. “ Ungkap Caca.
Komentar-komentar
lainpun bermunculan. Beragam motivasi
mereka untuk mengikuti ekskul jurnalistik. Ya, itulah dunia anak-anak. Ada yang
betul-betul dari keinginan mereka sendiri. Ada juga karena dorongan teman.
Untuk
menghidupkan suasana, aku ajak mereka bermain dan bernyanyi terlebih
dahulu. Tujuan awal untuk membuat mereka
nyaman terlebih dahulu. Mereka mencari
pasangan masing-masing, kemudian berhadap-hadapan. Saling menyapa, bernyanyi,
berputar-putar. Persis untuk anak tk, tapi ya itulah yang ada dalam benakku
saat itu.
Ketika kami
sedang asyik bermain game tersebut,
peserta ekskul lainpun berdatangan satu persatu sehingga anggota yang tadinya
berjumlah sepuluh sudah bertambah menjadi duapuluhan. Selesai game, aku meminta perserta untuk membuat
lingkaran. Baru memulai materi. Wah, luarbiasa untuk membuat mereka nyaman,
musti banyak game juga nie.
Sebelum
membahas materi, aku minta peserta mengeluarkan kertas satu lembar . Kemudian
menuliskan nama masing-masing. Menuliskan alamat dan kelas mereka. Lalu, Aku
pun membagikan materi yang akan dibahas.
Akupun
mulai meminta mereka untuk menuliskan satu kalimat yang mereka suka. Setelah
itu diberikan kepada teman disebelahnya. Temannya berusaha untuk melanjutkan
kalimat yang telah dibuat awal. Nampaknya, cara ini mereka agak kesulitan. Ada
yang bisa, ada juga yang masih malas-malasan. Aku cari akal lagi bagaimana
untuk menghidupkan suasana lagi.
Setelah ku
tanya kepada adik-adik dari kelas tiga sampai kelas lima tersebut, mereka mau
main game kembali. Aku memberikan
game asah otak versi ku, ternyata tak mempan untuk membuat mereka semangat.
Wah, apalagi ya, aku sempat bertanya-tanya pada mereka. Sang guru pendamping
ekskul melihatku agak kesulitan beradaptasi.
Ia
berinisiatif untuk membuat game yang sudah akrab dengan anak-anak. Dengan
memberikan contoh, akupun mengikuti permain kata kunci yang diberikan tersebut.
Aku bercerita di tengah-tenngah mereka, membuat kata kunci, setiap kata kunci
yang disebutkan anak-anak harus menyentuh tangan temannya disebelah kanan. Sementara
teman yang disentuh tangannya berusaha untuk menghindar. Suasana kelas hidup
kembali, aku merasa terbantu. Hieks… coba yang dampingi pak guru ganteng ya,
wah bisa betah berlama-lama ngajar anak-anak (khayalan tingkat tinggi, just
intermezzo).
Permainan
kedua sukses. Materi “Menjadi Seorang Cerpenis dilanjutkan. Aku meminta seorang
anak untuk membacakan cerpen di
tengah-tengah temannya. Awalnya banyak yang tidak mau, dengan iming-iming
hadiah, Ada satu anak yang bergegas untuk membaca cerpen. Meski agak kurang
keras, aku berusaha untuk menyimak cerpen yang dibacakan tersebut.
Setelah itu
baru aku bahas unsur-unsur cerpen sesuai dengan contoh cerpen yang dibacakan
tersebut Tema, Setting, Tokoh, dan Konflik.
Kaitkan dengan cerpen yang sudah ada, lalu mengajak mereka menulis.
Waktu yang
tersisa sekitar 30 menit untuk mereka menulis. Aku biarkan mereka berimajinasi
sebebas mungkin. Apa aja boleh, kataku pada mereka. Apa yang kamu suka,
silahkan tulis.Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10 WIB. Aku mengitari
mereka satu-persatu. Wah, hebat, ada yang sudah menulis dua halaman. Ada yang
dua halaman, ada yang satu setengah. Aku bangga, tiga halaman yang mereka tulis
ternyata belum selesai. Aku sengaja tidak mengambilnya untuk dikumpulkan. Aku meminta
mereka untuk melanjutkan cerpen mereka di rumah, mengetiknya, lalu mengirimkan
lewat email.
Terima
kasih untuk hari ini, adik-adiku yang manis. Jangan kapok untuk ketemu kakak
lagi. Bahagianya berada di tengah-tengah kalian. Ekskul usai, mereka pamit
sambil mencium punggung tanganku satu persatu. Aku berlalu menyusuri anak
tangga menuju lantai 2 untuk mengisi absen teman yang aku gantikan.
Di ruangan
Kepala sekolah,aku berkenalan dengan guru ekskul angklung. Ia tinggal di
Tanjung Priok. Cukup jauh dariku. Entah jam berapa ia berangkat dari rumah.
Yang pasti iapun rela berangkat pagi, demi anak-anaknya tercinta.
Sayang
sekali aku tak bisa ngobrol berlama-lama dengan guru yang lain diruang
tersebut. Ada agenda lain yang sudah menanti. Aku pamit dan langsung menuju
Unisma. Itu ceritaku. Apa ceritamu?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar