Bagi saya berganti tahun adalah
hal yang paling menakutkan, takut tidak sampai, takut dengan sesuatu yang akan
datang, takut dengan keramaian, hiruk-pikuk dan bunyi kembang api yang saling
bersahutan.
Entah kenapa, suara itu tak damai
di hati. Saya lebih mencintai kedamaian dan kesunyian, meski kondisi tak bisa
menafikkan keramaian. Menyepi dan merenungi apa yang telah terjadi memang
diperlukan, karna langkah akan terus berjalan, diberi tempat untuk rehat
memikirkan bagaimana arah waktu selanjutnya akan digunakan.
Bahagiakah dengan hal yang baru
tiba? padahal semua masih berbaju sama, seperti oplosan warna yang akan kembali
ke dasarnya. Hanya nama yang berganti, ya nama pergantian itu sendiri. Kita
senantiasa memakai yang baru secara atribut, namun apakah kita pernah berfikir
bagaimana kebaharuan itu, bagaimana prilaku kita, bagaimana kehidupan yang kita
lewati. Apanya yang baru. Hati dan pikiran kitakah, atau hanya simbolitas
sebagai ritual kebaharuan itu saja? Jika semua masih sama, patutkah kita
bergembira, merayakan sesuatu yang tiada berubah dari sebelumnya, atau bisa
jadi justru lebih buruk dari tahun sebelumnya.
Ada yang tidak menyukai tulisan
ini?. atau saya yang terrlalu berlebihan, tiada kegembiraan, tiada kesenangan
dan rasa suka cita terhadap perubahan? Sikap itu tiada yang salah, bagaimana
dengan diri kita? Perubahan apa yang membuat kita gembira, kesuksesan karir
yang telah tercapai, banyak cita-cita yang telah terwujud, kehidupan yang lebih
baikkah?. Saya percaya setiap orang punya ceritanya masing-masing. Tidak hanya
berupa kesenangan, namun juga berbagai kesedihan, musibah yang bertubi-tubi.
Bagi mereka yang sedang bersuka cita atas keberhasilan mereka dalam setahun
ini, tentu akan bertambah bahagia dan memiliki pengharapan dimasa depan agar
lebih baik. Bagi mereka yang mendapatkan berbagai ujian dan musibah
bertubi-tubi, ada pengharapan di tahun mendatang, agar Tuhan berbaik hati untuk
memberi mereka kehidupan yang lebih baik, dilepaskan dari kesedihan, harapan
ingin diberi kebahagiaan.
Dua hal yang mewarnai kehidupan kita penderitaan dan
kebahagiaan, apakah dua hal ini yang membuat kita untuk merayakannya? Merayakan
dengan pestapora dengan berbagai ornament yang tak tanggung-tanggung
menghabiskan uang milyaran bahkan trilyunan.
Ada kempang api, petasan, mercon,
yang siap ditembakkan atau diletuskan ke langit di atas sana. Bunyinya sudah
seperti di arena perang. Dentumannya tak jarang menumbuhkan kekagetan dan
keresahan bagi mereka yang punya penyakit jantung. Anak-anak kecil yang
sedianya tertidur lelap terjaga menangis dan ingin mengalahkan teriakan dari
mercon-mercon yang ditembakkan ke angkasa.
Ritual pergantian tahun yang
sering kita hadapi, tak jauh dari pestapora, makan-makan, musik, dan intrik
kesenangan lainnya salah satu cara memupuk kaum kapitalis dan tak jarang juga
sampai pada perbuatan asusila yang dibenarkan pada malam ritual pembaharuan
tahun. Pemakzulan diterima begitu saja, bagi sebagian orang yang mengikuti
aroma sikap yang sama.
Setelah pestapora usai,
kesenangan maya berganti kehidupan nyata, kita masih menemui dinding-dinding
yang reyot, puing-puing bangunan yang hampir rubuh, kebodohan yang masih
merajai si miskin. Kehidupan pinggiran yang masih menyayat hati, pesta hanya
hiburan sesaat, seperti cinderela yang mimpi menikahi putra raja, hidup dalam
istana yang megah, namun ia harus kembali kedunia nyata setelah lewat dari jam
12 malam tiba, esoknya menghadapi kenyataan hidup yang sama.
Terkadang saya membayangkan,
bagaimana jika sekali-sekali seluruh dunia padam tiba-tiba, tanpa cahaya. Gelap
menyelubungi kita, tak ada cahaya yang bisa dinyalakan pada malam akhir tahun
tersebut. Tuhan meminta kita untuk menikmati kegelapan semalam suntuk, tiada
yang bisa bergerak, bunyipun tidak. Dramatisasi yang menakutkan ketika itu
benar-benar bukan pembaharuan, akan tetapi justru akhir tahun yang tiada lagi
tahun berikutnya. Tahun penutup untuk kita semua.